Islam,  Kemenangan,  Komitmen,  Motivasi,  Pejuang,  Pemikiran,  Qur'an,  Sejarah

Belajar dari Penaklukkan Konstantinopel

Potongan nasihat sang guru, Syaikh Syamsuddin, kepada Sultan Muhammad II Al-Fatih dalam penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 M :

Sesungguhnya Allah-lah Dzat Yang Maha Pemberi Kemuliaan dan Pemberi Kemenangan. … Sesungguhnya masalah yang pasti adalah, bahwasannya seorang hamba itu sekedar merancang, sedangkan yang menentukan adalah Allah.

Kita telah berserah diri pada Allah dan kita telah membaca al-Qur’an. Itu semua tak lebih dari rasa kantuk di dalam tidur setelah ini. Sesungguhnya telah terjadi kelembutan kekuasan Allah, dan muncullah kabar gembira tentang kemenangan itu, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Penaklukkan konstantinopel, satu janji yang pasti terjadi

Rasulullah SAW telah menyampaikan suatu janji dalam haditsnya,

Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (ditaklukkan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.

Lalu siapakah yang “menjawab” seruan itu?

Ialah Sultan Muhammad II Al-Fatih. Yang kemudian menjadi sebaik-baik pemimpin. Dan pasukan yang ia pimpin adalah sebaik-baik pasukan.

Sultan Muhammad II Al-Fatih akhirnya berhasil menaklukkan Konstantinopel dan mengibarkan bendera Islam di tiang-tiang bentengnya. Kemudian mencerahkan Konstantinopel dengan kemilau keindahan Islam. Dengan budaya keilmuan (yang kemudian menjadi sumber munculnya “Rainasance” di Barat), perdamaian, dan keadilan.

Tidak ada pembunuhan nyawa secara membabi-buta seperti yang dilakukan Pasukan Salibis dalam Perang Salib yang dengan keji membunuh wanita-wanita, anak-anak, orang tua, orang-orang lemah, orang yang berlindung di balik rumah, dan orang yang berlindung di tempat ibadah. Pembantaian yang Pasukan Salibis lakukan begitu brutal, sampai-sampai darah menggenangi jalanan setinggi mata kaki!

Tidak ada perusakan terhadap tempat-tempat ibadah. Gereja Aya Sofia pun tidak dirusak. Fungsi saja yang dialihkan menjadi masjid. Semua warga dapat beribadah seperti biasanya.

Tidak ada pembantaian dan perbudakan seperti yang dikhawatirkan para uskup dan warga Kristiani. Tidak ada perlakuan tidak adil yang membuat mereka merasa kehidupannya dipersulit.

Sumber Kekuatan “Sang Penakluk” Konstantinopel

Setelah penaklukkan Konstantinopel, pasukan muslim melaksanakan shalat Jum’at untuk yang pertama kalinya di Konstantinopel. Shalat itu dilakukan di Gereja Aya Sophia yang telah dialih-fungsikan menjadi masjid.

Kemudian dicarilah muslim yang paling tepat untuk menjadi imam shalat Jum’at itu.

Sultan memerintahkan seluruh yang hadir di masjid untuk berdiri. Kemudian Sultan berkata,

“Siapa di antara kita yang sejak baligh hingga sekarang pernah meninggalkan shalat fardhu walau sekali, silahkan duduk!”

MasyaAllah..

Tidak ada satu pun yang duduk! Berarti tidak ada satu pun dari pasukan muslim yang pernah meninggalkan shalat lima waktunya.

Kemudian, Sultan pun melanjutkan pemilihan imam ini. Sultan berkata,

“Siapa di antara kita yang sejak balgih hingga kini pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib, silahkan duduk!”

Lalu sebagian pasukan mujahidin duduk sehingga tersisa sebagian kecil.
Lalu Sultan bertanya lagi :

“Siapa di antara kalian yang sejak baligh hingga saat ini pernah meninggalkan shalat tahajud walaupun satu malam, silahkan duduk!”

Kemudian seluruh pasukan yang tersisa pun duduk.
Kecuali satu orang. Yaitu Sultan sendiri.

MasyaAllah.. Sultan Muhammad Al-Fatih II tidak pernah meninggalkan shalat tahajud barang semalam pun semenjak ia baligh! Suatu amalan yang luar biasa. Suatu konsistensi yang patut diteladani.

Walau dalam Al-Muzammil ayat 20 Allah telah memberikan keringanan bagi kaum muslimin dengan menjadikan shalat malam sebagai ibadah sunnah, bukan wajib, Sultan Muhammad Al-Fatih II menjadikan ibadah ini suatu hal yang wajib bagi dirinya.

Inilah rahasia kekuatan Sultan Muhammad II Al-Fatih, Sang Penakluk. Ia tidak mengambil yang mudah dalam urusan ibadah, walau Allah telah memberikan keringanan-keringanan bagi hamba-Nya. Dan ia konsisten dalam pilihannya tersebut.

Kekuatan iman. Itulah kunci rahasianya. Keimanan adalah sumber kesabaran dalam menghadapi ujian, keikhlasan dalam beramal, rasa syukur dalam nikmat yang banyak maupun sedikit.

Keimanan dibangun dalam ibadah-ibadah kita. Dengan meningkatkan kualitas ibadah wajib. Dan meningkatkan kuantitas ibadah nawafil (ibadah sunnah).

Tidak Tergiur dengan Kemilau Dunia

Pada masa ke-khalifah-an Harun Al-Rasyid, sesungguhnya umat Islam hampir saja menduduki Konstantinopel dengan teramat mudah. Tanpa banyak perlawanan. Namun penaklukkan itu tidak terjadi.

Di tahun 798 M, Harun Al-Rasyid membawah 100.000 pasukan muslim untuk mengepung Konstantinopel karena Bizantium telah melanggar kesepakatan damai diantara dua negara. Saat itu, Bizantium Roma dipimpin oleh seorang kaisar wanita, Ratu Irene.

Ratu Irene menyatakan menyerah, meminta berdamai, dan mengharap belas-kasihan dari Sang Panglima, Harun Al-Rasyid. Harun Al-Rasyid menerima ajakan damai tersebut dengan satu syarat, yaitu Bizantium harus membayar upeti sebesar 70.000 koin emas tiap tahunnya.

Kesepakatan pun terjadi. Dan pasukan muslim pun kembali ke Baghdad.

Gemerincing koin-koin emas telah menulikan pendengaran para mujahid dari seruan Allah dan Rasul-Nya. Kemilau koin-koin emas berhasil menyilaukan keimanan umat Islam pada masa itu. Maka terjadilah penyakit yang paling ditakutkan Rasulullah SAW menimpa umat Islam, yaitu penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati).

Berbeda dengan Sang Penakluk, Sultan Muhammad II Al-Fatih, dan pasukannya. Lurusnya niat membuat Sang Penakluk dan pasukannya tidak tergiur dengan kilauan dunia.

Padahal, sungguh penaklukkan Konstantinopel tidak terjadi lewat jalan yang mudah. Berbagai aral melintang. Namun kebulatan tekad yang berasal dari keimanan yang jernih dapat membuat segala yang sulit menjadi mudah.

Mulai dari strategi pemindahan kapal melalui jalur darat sejauh 3 Mil (strategi fenomenal yang belum pernah terjadi di dunia sebelumnya), pembuatan benteng berjalan, hingga keberhasilan menepis hembusan keragu-ragu-an yang melemahkan semangat.

Karena kecintaan kepada dunia itu sudah terhapus dari sanubari Sang Penakluk. Digantikan oleh kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karena ketakutan akan kematian itu sudah habis terkikis oleh kerinduan akan perjumpaan dengan Rabb-Nya.

Ia pun mulia karena memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, berpegang teguh pada Al-Qur’an, dan meninggalkan kecintaannya pada dunia

Sahabat, tidakkah kita tergoda untuk menjadi seorang hamba yang mulia di hadapan-Nya?

Tidakkah kita merasa terpanggil untuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya?

Maka teladani-lah jejak juang Sang Penakluk!
Yang telah memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya.
Yang berpegang teguh pada dua tali agama ini, Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Yang telah menjadikan dunia dalam genggamannya, bukan hatinya.

“Konstantinopel-konstantinopel” itu masih ada.
Masih nyata.
Hanya bentuknya yang berbeda.

Konstantinopel itu ada dalam IT, telekomunikasi, kedokteran, pertanian, perekonomian, geo-fisika, metalurgi, dan segala cabang keilmuan lainnya.
Iqra‘! Bacalah!

Konstantinopel itu nyata dalam amanah-amanah kita, pemenuhan kebutuhan keluarga kita,urusan pekerjaan kita, pendidikan anak-anak kita,dan urusan-urusan lain yang mungkin selama ini kita anggap rutinitas, yang terlanjur kita anggap hal biasa.
Iqra‘! Bacalah!

Maka berjuanglah dengan sungguh-sungguh! Itulah makna jihad!

Segala daya dan upaya kita saat ini tak lebih dari rasa kantuk di dalam tidur setelah ini. TIDAK LEBIH dari rasa kantuk! Yang akan segera hilang. Yang akan segera diganti oleh Allah. Segala luka yang kini terperi akan segera Allah basuh dengan cinta dan ke-ridho-an-Nya.

“Apakah ada balasan yang pantas untuk kebaikan selain daripada kebaikan?” (ArRahman:60)

Teruslah berjuang, sahabat!
Bersama kita taklukkan Konstantinopel!
Karena kemenangan adalah harga mati bagi seorang muslim YANG bertakwa!

Untuk menggapai ridho Allah..
Untuk kondisi bangsa yang lebih baik..
Untuk wajah dunia yang lebih bersahabat..
Karena “Islam untuk dunia”.
Bukan “dunia untuk Islam”.

————————————

Referensi :

1. Panglima Surga, Abu Fatah Grania.

2. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 12, Sayyid Qutb.

5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *