Surat Seorang Ibu (Sebuah Film Pendek)
Pagi ini iseng-iseng saya menonton sebuah video yang dipublikasikan dalam FaceBook seorang teman. Padahal biasanya saya malas untuk menonton video-video yang di-upload teman-teman karena membatasi penggunaan bandwidth. Akan tetapi komentar-komentar yang dikeluarkan oleh pengguna FaceBook lainnya menggelitik rasa ingin tahu saya. (Inilah pentingnya melihat komentar dan berkomentar, teman-teman.)
Film Pendek ini berjudul “Surat seorang ibu“. Film yang membuat rasa rindu saya kepada mama semakin menjadi ini adalah besutan beberapa warga negara Malaysia yang menyatakan dirinya “amatir” dengan pemain-pemain yang “tidak profesional”. Tidak percaya? Perhatikanlah pesan diawal filmnya. (Link film ini ada di bagian bawah tulisan)
Surat Seorang Ibu.
Sebuah film yang mengisahkan kerinduan seorang ibu kepada anak-anaknya yang kian besar, mandiri, dan SIBUK. Seorang ibu yang menjadikan aktivitas penantian kedatangan anaknya sebagai sebuah hiburan. Namun sayang si anak tak kunjung datang. Seorang ibu yang ketika menelepon anaknya, seringkali mendapati anaknya berkata, “maaf mak, Alung lagi busy” atau “nanti adek telepon lagi, lagi ada pasien.” Hingga perlahan muncullah keraguan dalam hatinya untuk menelepon kedua buah hatinya. Keraguan yang bahkan membuat ibu tidak menceritakan kondisi kesehatannya pada kedua anaknya.
Sadar bahwa anaknya sibuk. Ibu pun menulis surat. Dengan harapan akan dibaca ketika nanti anaknya datang ke rumah. Berawal dari surat ini, kisah film pendek Surat Seorang Ibu bertutur.
S.I.B.U.K.
“Surat” ini berhasil membuat saya berpikir mengenai bagaimana memaknai kesibukan dan interaksi saya dengan orang tua. “Surat” ini sukses membuat saya mengutuki menyesali diri atas “kesibukan” yang dijadikan pembenaran atas tindakan dan kelalaian selama ini. Sepertinya saya harus mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada para pembuat film pendek, Surat Seorang Ibu ini.
Jadi ingat ketika dahulu, suatu hari mama mencurahkan perasaannya, “kok semenjak pu3 sensor, pu3 jadi jarang kirim email ke mama ya? Jarang ngasih kabar..”
Kalau dulu disibukkan dengan aktivitas organisasi, kini beralih kepada kesibukan dengan pekerjaan. Benarkah saya sesibuk itu? Hingga tak sempat untuk meluangkan perhatiannya kepada orang tua dan orang-orang tercinta? Ah, saya kira tidak.. Jika saya mengaku menyayangi mereka tentunya perlu pembuktian. Jika saya benar-benar menyayangi mereka, maka tentunya memberikan perhatian adalah bentuknya. Email, telpon, SMS, chatting, dll. Ah, betapa banyak cara yang bisa dilakukan. Sekarang khan sudah modern. Jadi ngga ada lagi alasan, put!
Kepada teman-teman yang hari-harinya berusaha dipenuhi dengan aktivitas (yang insyaallah) penuh berkah. Tampaknya kita perlu memaknai (lagi) salah satu pesan Allah :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6)
Ada perlunya kita memberikan porsi lebih untuk menjaga keluarga kita dari jilatan api neraka. Ah, mungkin saya saja yang kurang tawazun (seimbang) dalam beraktifitas.. Saya harap begitu.
Waktu Yang Berkualitas?
Seringkali orang tua yang sibuk melakukan pembenaran atas kelalaian memberikan perhatian kepada anak-anaknya dengan dalih “mencari waktu yang berkualitas”. Dalih mencari momentum yang tepat biasanya berbentuk, “nanti lah, nunggu cuti atau libur panjang“. Pernah dengar? Atau pernah mengeluarkan pernyataan sejenis itu? Saya sih pernah. Walau mungkin bukan kepada anak. Karena saya memang belum punya anak. ( Nyengir mode : ON)
Tampaknya perlu ada pelurusan makna frase “waktu yang berkualitas” dengan memahami bahwa kualitas itu ada setelah kuantitas memenuhi. Kalau rekan-rekan pernah iseng-iseng belajar ilmu sumber daya manusia ataupun kaderisasi, pastinya mengerti akan hal ini. Tapi yang belum pernah belajar pun bisa mengambil hikmah dari aspek hidupnya sendiri. Untuk para desainer grafis, sebelum desain anda sebagus sekarang, pastinya diperlukan perlu waktu yang cukup banyak untuk belajar. Atau apapun peran anda saat ini. Perlu waktu untuk menjadi ahli khan.. Jadi kualitas itu tidak datang dengan sendirinya.
Diperlukan Kuantitas Yang Cukup Untuk Menghasilkan Kualitas Yang Baik.
Maka dari itu jika saat ini kita mengharapkan suatu kualitas hendaknya kita berkaca terlebih dahulu : seberapa besar kuantitas yang telah kita berikan? Jika kuantitas tidak terpenuhi, maka jangan heran dengan kondisi yang tidak seideal yang diri inginkan.
Kepada para kakak, jangan heran klo adiknya tidak nurut ataupun cuek kepada kita (karena saya adalah seorang kakak). Kita ngaca dulu deh.. Seberapa besar kita telah menunjukkan rasa sayang kita kepada adik? Kalau belum menunjukkan rasa sayang, belum memberikan perhatian, bahasa yang digunakan pun adalah bahasa yang bernada “menuntut” seperti : “Dek, kamu ngga boleh begini!“, “Dek, kamu kok gitu sih? Bandel banget klo dibilangin..“, dll. Maka sikap adik yang cuek kepada kita selama ini adalah suatu buah dari sikap kita sendiri.
Kepada para orang tua, kepada para pimpinan organisasi ataupun perusahaan, kepada para pemeran peran-peran hidup lainnya, tampaknya rekan-rekan bisa mengadaptasi contoh yang saya berikan di atas.
Cukupkanlah kuantitas. Setelah itu kualitas akan terbentuk.
Tokoh Dibalik Film Pendek “Surat Seorang Ibu”
Beberapa pemeran dalam film pendek ini adalah orang-orang yang berasal dari Rumah Pengasih Warga Prihatin. Yaitu rumah Anak-anak Yatim, OKU (Orang Kurang Upaya), Fakir Miskin, Ibu Tunggal dan Golongan Asnaf.
Lalu siapa seniman dibalik film ini? Hipotesa saya, mereka adalah hasil binaan dari Rumah Pengasih Warga Prihatin. Dari mana saya menyimpulkan hal ini? Dari satu kalimat akhir dalam film pendek ini. Dan para pembuat film ini pastilah orang-orang yang paham betul nilai “kehadiran orang yang disayang”. Inilah pesan mereka, pesan yang membuat saya kembali merenungi sikap saya selama ini :
Hargailah mereka karena sebahagian kami tidak pernah merasakan kehadiran mereka.
Mumpung masih ada waktu, gunakanlah kesempatan yang ada. Jangan sampai penyesalan yang menutup akhir cerita kita.
Beberapa referensi
Film Pendek Surat Seorang Ibu (no longer exist) : www.youtube.com/watch?v=FbqDqFEvxtI
Film Pendek BahuluEmak :
Rumah Pengasih Warga Prihatin : www.prihatin.net.my
“Surat” lainnya : http://putrichairina.wordpress.com/2009/02/13/pesan-kematian/
9 Comments
Tanda Seru Desain
wah sepertinya seru, kita simak dulu deh filmnya
aliefte
Setuju banget!!! Mumpung masih ada waktu… tunjukkan rasa sayang pada ibu dengan sepenuh hati. 🙂
restu utami
pu, Syukron dah diingetin,, hampir aja aq berbuat gtu ke papahku,,,
dengan alasan sibuk TA,,
alhamdulillah ngga sampe gtu pu,,, Allah masih menyelamatkanku,, dan baru ngeh saat baca tulisanmu ternyata sedih bgt kalo digituin,,
makasih ya pu,,,
Aisha
put…filmnya ko ga ketemu yahh???
link nya ga bisa???
risma
ka puuu,,
film nya sedih banget.. inget mama..abah juga..
sayangnya kl rsm keadaannya terbalik, mama ma abah yang sering nutup telpon, mama ma abah emang sibuk banget..
but it’s ok.. i can understand it..
mg jadi bahan evaluasi bareng2 ya..
paisalarafah
mksih y ats film pendek surat seorang ibu,
saya sangat terkesan atas kisah nya dan aku mersa sangat rindu jepada keluarga ku d kampung halaman,makasih ibu yg tlah merawat dan membesar kan ku walau pun kni ibu sudah lama meninggalkan kami namun saya sangattt menyayangi ibu,
ku harap ibu b hagia d sisi allah swt.
amin ya robbalalamin…..nn
paisal arafah siregar
mksih y ats film pendek surat seorang ibu,
saya sangat terkesan atas kisah nya dan aku mersa sangat rindu jepada keluarga ku d kampung halaman,makasih ibu yg tlah merawat dan membesar kan ku walau pun kni ibu sudah lama meninggalkan kami namun saya sangattt menyayangi ibu,
ku harap ibu b hagia d sisi allah swt.
amin ya robbalalamin…..n
isah kambali
terimakasih mbak put, artikelnya ngena banget
Putri Chairina
Sama-sama, Mba Isah.. Semoga bisa diambil hikmahnya ya..